Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa
Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash
Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man Waalah, wa
ba’d:
Kepada saudari Binti Muhammad,
semoga Allah Ta’ala selalu menjaga Anda dalam kebaikan dan menjadikan
Anda sebagai wanita shalihah yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala.
Jika Meninggalkan Shalat secara
sengaja
Kasus yang saudari tanyakan ini,
akan kami rinci yaitu seseorang yang tertinggal shalatnya hingga melewati waktu
shalatnya secara sengaja seperti karena malas, misalnya. Maka para ulama
terjadi perbedaan pendapat apakah mesti qadha atau tidak.
Pendapat Pertama, Dia berdosa dan
wajib qadha.
Ini adalah pendapat mayoritas
fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i. (Imam Ibnu
Hazm, Al Muhalla, 2/10). Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal
mengatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja sampai
melewati waktunya.[1]
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
mengatakan:
أما التارك للصلاة عمدا فمذهب الجمهور
أنه يأثم وان القضاء عليه واجب.
Adapun meninggalkan shalat secara
sengaja, maka menurut mayoritas ulama adalah dia berdosa dan wajib mengqadha. (Fiqhus
Sunnah, 1/274)
Pendapat Kedua. Dia tidak
disyariatkan mengqadha tetapi hendaknya bertaubat, banyak istighfar, dan shalat
sunah.
Inilah pendapat Imam Ibnu Taimiyah,
Beliau mengatakan:
وتارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ولا
تصح منه، بل يكثر من التطوع
Orang yang meninggalkan shalat
secara sengaja tidaklah disyariatkan baginya untuk mengqadhanya, dan tidak sah
pula jika dia melakukannya, tetapi hendaknya dia memperbanyak shalat sunahnya.
(Fatawa Al Kubra, 5/320)
Ini juga difatwakan Imam Ibnu Hazm,
Beliau mengatakan:
وأما من تعمد ترك الصلاة حتى خرج
وقتها هذا لا يقدر على قضائها أبدافليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزاته
يوم القيامة وليتب وليستغفر الله عزوجل
Adapun orang yang meninggalkan
shalat secara sengaja sampai keluar dari waktunya, maka selamanya tidak bisa
diqadha. Namun hendaknya dia memperbanyak amal kebaikan, shalat sunah, dalam
rangka memperberat timbangan kebaikannya di Hari Kiamat nanti, dan hendaknya
dia bertaubat dan beristighfar kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Al
Muhalla, 1/274-275)
Hujjah mereka adalah sebagai berikut:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ
أَضاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَواتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59)
إِلاَّ مَنْ تابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ
صالِحاً فَأُولئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئاً (60)
“Maka datanglah sesudah mereka,
pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang
bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan
tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.”
(QS. Maryam [19]: 59-60)
Ayat lain:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا
فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا
لِذُنُوبِهِمْ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (QS. Ali Imran [3]: 135)
Jadi, menurut ayat-ayat ini, solusi
dari kemaksiatan adalah bertaubat kepada Allah Ta’ala dan memperbanyak
istighfar. Begitupula dalam konteks meninggalkan shalat wajib secara sengaja,
ditambah lagi orang tersebut mesti menutupinya dengan memperbanya shalat sunah.
Dalilnya adalah,
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ
العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ
أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ
مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي
مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ
سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ.
“Sesungguhnya yang pertama kali
dihisab dari amal seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalatnya. Jika bagus
shalatnya maka dia telah selamat dan beruntung. Jika rusak shalatnya maka dia
akan menyesal dan merugi. Jika shalat wajibnya ada kekurangan, maka Allah ‘Azza
wa Jalla berkata, ‘Lihatlah pada hamba-Ku shalat sunahnya. Sempurnakanlah
kekurangan pada yang wajib itu dengannya.’ Kemudian dihitunglah semua amal
perbuatannya dengan seperti itu juga.”
(HR. At Tirmdzi (413), katanya: hasan gharib. Abu Daud (864). Ad-Darimi
(1395), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnadnya shahih. Ahmad
(9494). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Ta’liq Musnad
Ahmad No. 9494) )
Nah, hadits ini menunjukkan bahwa
kekurangan pada shalat wajib yang luput dilaksanakan, bisa ditutupi dan
disempurnakan oleh shalat sunah.
Imam Abu Muhammad bin Hazm telah
membahas masalah ini panjang lebar. Beliau pun menantang pihak yang mewajibkan
qadha itu. Atas dasar apa sehingga dibolehkan menqadha? Siapakah yang
mewajibkan qadha itu, syariat atau bukan? Di antara alasan lain yang
dikemukakan Beliau adalah bahwa shalat adalah ibadah yang sudah ditentukan waktunya.
Jika adanya qadha itu dibenarkan sehingga shalat bisa dilakukan setelah habis
waktunya maka adanya aturan waktu shalat yang spesifik akan menjadi
aturan (ketetapan) yang sia-sia dan tidak ada artinya.
Buat apa adanya aturan waktu pada
masing-masing shalat, jika kemudian boleh saja dilakukan di luar waktunya?
Beliau juga menyebut bahwa pendapat Beliau ini merupakan pendapat Umar bin
al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Salman al-Farisi, Ibnu
Mas’ud, Muhammad bin Abu Bakar, Budail Al Uqaili, Muhammad bin Sirin,
Mathrab bin Abdullah, dan Umar bin Abdul Aziz. (Al Muhalla, 2/11)
Jika Meninggalkannya Tidak Sengaja
Sedangkan jika luputnya shalat wajib
disebabkan ketidaksengajaan, seperti ketiduran atau lupa misalnya, maka para
ulama sepakat wajibnya qadha ketika dia sadar dan ingat.
Hal ini sesuai hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِيَّ النَّوْمِ
تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى
يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةَ الْأُخْرَى، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ
يَنْتَبِهُ لَهَا
“Sebenarnya bukanlah kategori lalai
jika karena tertidur. Lalai adalah bagi orang yang tidak shalat sampai datang
waktu shalat lainnya. Barang siapa yang mengalami itu maka shalatlah dia ketika
dia sadar”. (HR. Muslim, 311/681)
Dalam redaksi yang agak berbeda,
لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ،
إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ، فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً، أَوْ
نَامَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Lalai bukanlah pada saat tidur.
Lalai adalah ketika sadar. Maka jika salah seorang kalian lupa shalat atau
tertidur, maka shalatlah ketika teringat shalat.”(HR. at-Tirmidzi (177), katanya: hasan shahih. Ibnu
Majah (698))
Hadits lainnya:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا
إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
“Barangsiapa yang lupa dari
shalatnya maka shalatlah ketika dia mengingatnya, dan tidak ada kafarah
(tebusan) kecuali dengan cara itu.”(HR.
Muslim, 314/684)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa
meninggalkan shalat karena lupa dan tertidur, hendaknya diqadha dengan shalat
juga ketika dia teringat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
menekankan hal itu dengan kata perintah: falyushalliha idza dzakaraha – maka
shalatlah ketika teringat shalat.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
mengatakan:
اتفق العلماء على أن قضاء
الصلاة واجب على الناسي والنائم
“Mengqadha shalat adalah wajib
menurut kesepakatan ulama bagi orang yang lupa dan tertidur.” (Fiqhus Sunnah, 1/274)
Maka, kasus yang dialami saudari
penanya, hendaknya shalatlah ketika terbangun dari tidurnya, walau telah
melewati waktunya. Jika Shalat Subuh kelewatan karena tertidur, lalu bangun di
waktu Dhuha, maka shalatlah Subuh saat itu. Begitu pula jika dia baru bangun di
waktu Zhuhur, maka shalat subuhlah ketika dia ingat.
Semua ini sesuai perintah nabi
shalatkah ketika teringat. Caranya adalah jika dia shalat sendiri maka Shalat
Subuh dahulu, barulah Zhuhurnya, sesuai urutannya. Sedangkan jika berjamaah
dengan orang lain di masjid, maka ikuti shalatnya jamaah dulu (yakni
Zhuhur), sebab tidak mungkin dia meminta jamaah untuk Shalat Subuh sebagaimana
dirinya sebab jamaah lain tidak mengalami yang dia alami, jika sudah selesai
barulah dia Shalat Subuh yang tertinggal itu.
Nabi dan Para Sahabat pernah
mengalami
Apa yang dialami saudari penanya
juga pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para
sahabatnya. Maka adanya peristiwa serupa yang dialami mereka menjadi panduan
buat kita bagaimana menyikapinya. Yang jelas, kasus seperti ini hendaknya tidak
menjadi kebiasaan.
Berikut ini kisah yang terdapat
dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kisahnya panjang dan kami
kutip sesuai kebutuhan saja sebagai berikut:
‘Imran bin Hushain Radhiallahu
‘Anhu bercerita:
أَنَّهُمْ كَانُوا مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسِيرٍ، فَأَدْلَجُوا لَيْلَتَهُمْ، حَتَّى
إِذَا كَانَ وَجْهُ الصُّبْحِ عَرَّسُوا، فَغَلَبَتْهُمْ أَعْيُنُهُمْ حَتَّى
ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ، فَكَانَ أَوَّلَ مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ أَبُو
بَكْرٍ، وَكَانَ لاَ يُوقَظُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ مَنَامِهِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، فَاسْتَيْقَظَ عُمَرُ، فَقَعَدَ أَبُو بَكْرٍ
عِنْدَ رَأْسِهِ، فَجَعَلَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ حَتَّى اسْتَيْقَظَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَ وَصَلَّى بِنَا
الغَدَاة ….
“Mereka bersama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah perjalanan yang sampai larut malam hingga
menjelang Subuh mereka istirahat. Lalu mereka tertidur sampai meninggi
matahari. Pertama yang bangun adalah Abu Bakar, Beliau tidak membangunkan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sampai dia bangun sendiri. Lalu bangunlah Umar, lalu Abu
Bakar duduk di sisi kepala nabi. Lalu dia bertakbir dengan meninggikan suaranya
sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terbangun. Lalu beliau keluar dan
Shalat Subuh bersama kami.”
(HR. Bukhari (3571), Muslim (312/682))
Dalam kisah ini, Nabi dan para
sahabatnya baru Shalat Subuh ketika matahari sudah meninggi, setelah mereka
terbangun dari tidur. Ini menunjukkan bolehnya hal itu, jika disebabkan
tertidur yang membuatnya melewati waktu Subuh sebenarnya. Tetapi, sekali lagi,
ini bukanlah kebiasaan mereka, tetaplah yang paling utama dan disukai Allah Ta’ala
adalah Shalat Subuh tepat pada waktunya.
Tidak Shalat Karena Pingsan
Bagi orang yang pingsan sehingga dia
tidak melakukan shalat, maka sebagian imam, seperti para Sahabat dan Tabi’in
menyatakan tidak wajib qadha sama sekali. Seperti yang dipegang oleh Ibnu
Umar, Thawus bin Kaisan, Az Zuhri, Al Hasan Al Bashri, dan Muhammad bin Sirin.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
menyebutkan:
فقد روى عبد الرزاق عن نافع: أن ابن
عمر اشتكى مرة غلب فيها على عقله حتى ترك الصلاة ثم أفاق فلم يصل ما ترك من
الصلاة.وعن ابن جريج عن ابن طاوس عن أبيه إذا أغمي على المريض ثم عقل لم يعد
الصلاة.
قال معمر: سألت الزهري عن المغمى عليه
فقال: لا يقضي.وعن حماد بن سلمة عن يونس بن عبيد عن الحسن البصري ومحمد بن سيرين
أنهما قالا في المغمى عليه: لا يعيد الصلاة التي أفاق عندها.
Abdurrazzaq meriwayatkan dari
Naafi’, bahwa Ibnu Umar suatu saat jatuh sakit hingga pingsan dan
meninggalkan shalat. Lalu ketika dia sadar, dia tidak melakukan shalat yang
tertinggal itu.
Dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Thawus,
dari ayahnya, bahwa jika ada seorang sakit sampai pingsan lalu dia kembali
sadar maka tidak usah baginya mengulangi shalatnya.
Ma’mar berkata: Aku bertanya kepada
Az Zuhri tentang orang yang pingsan, Beliau menjawab, “Tidak usah mengqadha.”
Dari Hammad bin Salamah, dari Yunus
bin ‘Ubaid dari al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, mereka berdua
berkata tentang orang yang pingsan, “Tidak perlu mengulangi shalat yang
tertinggal selama pingsan itu.” (Fiqhus Sunnah, 1/274)
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in
[1]Dalam berbagai hadits shahih,
orang yang sengaja meninggalkan shalat disebut kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
بين الرجل وبين الشرك والكفر
ترك الصلاة
“Batas antara seseorang dengan
kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim (82), at-Tirmidzi (2752), Ibnu Majah (1078),
ad-Darimi (1233), Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf (7/222/43), Ibnu Hibban
(1453), Musnad Ahmad (15183), tahqiq: Syu’aib Al Arna’uth, Adil Mursyid, dll)
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن
تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kita dan mereka
adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.”(HR. at-Tirmidzi (2621), katanya: hasan shahih gharib,
an-Nasa’i (463), Ibnu Majah (1079), Ibnu Hibban (1454), Sunan ad-Daruquthni,
Bab At Tasydid fi Tarkish Shalah No. 2, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra
(6291), Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf (7/222/45), Al Hakim, Al
Mustadrak ‘Alash Shahihain (11), katanya: “isnadnya shahih dan kami
tidak mengetahui adanya cacat dari berbagai jalur. Semuanya telah berhujjah
dengan Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Muslim telah berhujjah dengan
al-Husein bin Waqid, Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya dengan lafaz ini.
Hadits ini memiliki penguat yang shahih sesuai syarat mereka berdua.” Ahmad
(22937), Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: sanadnya qawwy (kuat).
Syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya)
Imam Al Mundziri Rahimahullah mengatakan:
وقال ابن أبي شيبة قال النبي صلى الله
عليه وسلم :من ترك الصلاة فقد كفر
وقال محمد بن نصر المروزي سمعت إسحاق
يقول صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر
Berkata Ibnu Abi Syaibah, Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka
dia telah kafir.” Berkata Muhammad bin Nashr Al Marwazi, aku mendengar
Ishaq berkata: “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa
orang yang meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (Syaikh al-Albani, Shahih
At Targhib wat Tarhib (1/575). Cet. 5, Maktabah Al Ma’arif. Riyadh)
Dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا
يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة
“Para sahabat nabi tidaklah memandang
suatu perbuatan yang dapat kufur jika ditinggalkan melainkan meninggalkan
shalat.” (HR. at-Tirmidzi (2757),
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi (2622)
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah
mencatat dalam Al Muhalla-nya:
وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمْ
مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاةَ فَرْضٍ
وَاحِدَةٍ مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ.
“Telah datang dari Umar, Abdurrahman
bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan selain mereka dari kalangan
sahabat Radhiallahu ‘Anhum, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib
sekali saja secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka dia kafir murtad.”(Al Muhalla, 1/868. Mawqi’ Ruh al-Islam)
Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu
‘Anhuma, mengatakan:
ومن ترك الصلاة فلا دين له.
“Barangsiapa yang meninggalkan
shalat, maka tidak ada agama baginya.”
(al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/508) Darul Fikr)
Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu
berkata:
لا إيمان لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن
لا وضوء له رواه ابن عبد البر وغيره موقوفا
“Tidak ada iman bagi yang tidak
shalat, dan tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu.” Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dan selainnya secara mawquf.
(Atsar ini Shahih mawquf. Lihat Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib
wat Tarhib, 1/575. Maktabah Al Ma’arif)
Imam Al Mundziri Rahimahullah
menyebutkan:
وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي
صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة عمدا من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر
“Demikian pula, dahulu
pendapat ulama dari orang yang dekat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
(yakni para sahabat), bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa
‘udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir.” (Ibid)
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/05/06/50832/bangun-kesiangan-bolehkah-mengqadha-shalat-subuh/#ixzz3F2t871II
No comments:
Post a Comment