Assalaamu'alaikum wr.wb.
Ustadz, Seorang kawan berencana menikah dalam
waktu dekat. Belakangan diketahui calon istri dan keluarganya adalah pengikut
Ahmadiyah yang taat. Calon istrinya sendiri telah bersedia meninggalkan ajaran
Ahmadiyah tsb. dan kembali ka ajaran Islam yang benar. Namun Bapaknya
mengharuskan kawan tsb. berbaiat kalau ingin menikahi putrinya.
Bolehkah
kawan tsb. melakukan baiat (pura-pura) untuk sekedar memperoleh ijin menikah
tanpa bermaksud mengikuti ajaran tsb, untuk menyelamatkan calon istrinya ini
dari ajaran menyimpang? Dan setelah menikah nanti, dia bertekad untuk mengajak
keluarga istrinya kembali ke ajaran Islam yang benar. Demikian pertanyaan kami,
mohon agar ustadz dapat memberikan penjelasan segera. Jazakumulloh khoiron
katsiiran.
Wassalaamu'alaikum
wr.wb.
Jawaban:
Baiat adalah sebuah janji kepada Allah
SWT dan tidak boleh dijadikan main-mainan, meksi Allah SWT sendiri memang
membedakana antara sumpah atau janji yang serius dengan yang main-main (lahgwi).
Dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT telah berfirman tentang sejauh mana pengaruh
dari janji tersebut.
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang
tidak dimaksud , tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh
hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 225)
Bahkan di ayat lain Allah SWT telah memberikan petunjuk tentang
bagaimana seharusnya bila seseorang melanggar sumpahnya. Yaitu harus : Memberi
makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian mereka, atau memerdekaan budak, bila
tidak sanggup, maka berpuasa tiga hari
Namun di dalam ayat itu juga
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menjaga sumpah dan janji yang pernah
diucapkan.
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
tidak dimaksud, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak
sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang
demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah. Dan jagalah
sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu
bersyukur .(QS. Al-Baqarah : 89)
Sehingga bila kasusnya adalah orang
yang bertaubat dan menyesal pernah berbaiat dengan kelompok yang menyimpang,
untuk membatalkannya adalah dengan melaksanakan kaffarah seperti tersebut di
atas.
Sedangkan bila sejak awal seseorang sudah tahu bahwa apa yang
dibaiatnya itu sesat, tapi dia berpura-pura berbaiat dengan menggunakan nama
Allah SWT, maka tentu hukumnya berbeda. Karena meski tujuannya baik namun apa
yang dilakukannya tidak sesuai dengan hati dan keyakinannya. Sehingga kalau
harus bersumpah atas nama Allah SWT dengan berbaiat, dia termasuk orang yang
berdusta dan melanggar janji dengan cara sengaja. Karena sejak awal dia sudah
tahu bahwa dia tidak boleh melakukan kesetiaan kepada ajaran yang menyimpang.
Sehingga kalaulah kebolehan itu diberikan, tentu dengan studi kasus yang khusus
dan tidak bisa disamaratakan pada semua kondisi.
Hanya pada kasus
kondisi yang very-very dangerous sajalah seseorang boleh berdusta dengan
menyebut nama Allah SWT dan dengan melakukan sumpah. Misalnya bila seseorang
dipaksa dengan ancaman kematian Seperti pada kasus Zaid bin Haritsah dalam
Al-Quran Al-Kariem :
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia
beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam
beriman, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl :
106)
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam
Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
No comments:
Post a Comment