Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa
Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa
‘Ala aalihi wa Shahbihi wa man waalah, Ba’d.
Kepada Sdri Arsi Purnama Sari,
semoga Allah merahmati Anda.
Ibu hamil dan menyusui adalah dua
macam ‘udzur dibolehkannya meninggalkan puasa. Namun, dia
diwajibkan menggantinya. Ini adalah kesepakatan (ittifaq) para fuqaha
(ahli fiqih) sejak dahulu hingga hari ini. Jika dia memiliki daya tahan tubuh
yang kuat, dan tidak khawatir terhadap kesehatan dirinya dan janinnya, maka dia
boleh memilih, puasa atau tidak. Keduanya dibenarkan, namun puasa lebih afdhal,
karena tubuhnya kuat tadi.
Hanya saja, para fuqaha berselisih (ikhtilaf),
dengan apa dia harus mengganti puasa. Qadhakah (berpuasa pada hari di luar Ramadhan)? Atau fidyah? Perlu diketahui, Qadha merupakan
mengganti puasa di hari selain Ramadhan karena dia masih mampu untuk berpuasa
di hari lain tersebut. Seperti musafir, orang sakit yang masih punya harapan
sembuh, hamil dan menyusui, pekerja keras, orang yang perang, dipaksa/diancam
untuk tidak puasa.
Sedangkan Fidyah adalah
mengganti puasa bagi orang yang sudah tidak mampu lagi berpuasa dengan
memberikan makanan pokok yang mengenyangkan kepada orang miskin, sebanyak
jumlah hari yang dia tinggalkan. Seperti sakit menahun yang tipis kemungkinan
sembuh, orang yang sangat tua, orang yang selalu bergelut dengan pekerja keras
tiap hari. Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, ibu hamil dan menyusui termasuk
golongan ini.
Untuk Qadha dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala, “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS.
al-Baqarah [2]: 184)
Untuk Fidyah dalilnya
adalah kalimat selanjutnya, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi
makan seorang miskin.” (QS. al-Baqarah (2): 184)
Perbedaan pandangan ulama dalam hal
ini sangat wajar. Sebab memang ayat tersebut tidak merinci siapa sajakah yang
termasuk orang-orang yang berat menjalankannya. Dalam hadits pun
tidak ada perinciannya. Adapun tentang Qadha secara khusus, ayat di atas
menyebut musafir dan orang yang sakit. Sedangkan ayat tentang Fidyah, tidak
dirinci hanya disebut orang yang berat menjalankannya.
Nah, khusus ibu hamil dan menyusui,
jika kita melihat keseluruhan pandangan ulama yang ada, bisa kita ringkas seperti
yang dikatakan Imam Ibnu Katsir,[1] bahwa ada empat
pandangan/pendapat ulama. Berikut rinciannya, silahkan perhatikan baik-baik:
Pertama, kelompok ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah sekaligus.
Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam asy-Syafi’i. Dilakukan jika Si Ibu
mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya.
Kedua, kelompok ulama yang mewajjibkan fidyah saja, tanpa qadha.
Inilah pandangan beberapa sahabat Nabi, seperti Abdullah bin ‘Abbas, dan
Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Dari kalangan tabi’in (murid-murid
para sahabat) adalah Said bin Jubeir,[2] Mujahid, dan lainnya.
Kalangan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in) seperti al-Qasim bin Muhammad dan
Ibrahim an-Nakha’i.
Imam Daruquthni meriwayatkan dengan
sanad yang shahih, Ibnu ‘Abbas pernah berkata kepada hamba
sahayanya yang sedang hamil, “Kau sama dengan orang yang sulit
berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tidak usah qadha.”
Nafi’ bercerita bahwa Ibnu Umar
ditanya tentang wanita hamil yang khawatir keselamatan anaknya kalau ia berpuasa.
Dia menjawab, “Hendaknya dia berbuka. Sebagai gantinya, hendaklah dia
memberi makanan kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum.” (Riwayat
Malik )
Ketiga, kelompok ulama yang mewajibkan qadha saja, tanpa fidyah.
Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Seperti madzhab
Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan Si
Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus.
Keempat, kelompok ulama yang mengatakan tidak qadha, tidak pula
fidyah.
Demikianlah berbagai perbedaan
tersebut. Nah, pendapat manakah yang sebaiknya kita ikuti? Seorang ahli fiqih
abad ini, Al-‘Allamah Syaikh Yusuf al-Qaradhawy hafizhahullah,[3] dalam
kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan
keluar dan kompromi yang bagus. Beliau berkata:
“Banyak ibu-ibu hamil bertepatan
bulan Ramadhan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka, jika tidak dibebani
kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah. Di samping hal ini merupakan kebaikan
untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi.
Namun bagi ibu-ibu yang masa
melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di
sebagian besar negara Islam, tertutama di kota-kota, kadang-kadang hanya
mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi
mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).”
Jadi, beragam pendapat ini tidak
diposisikan saling vis a vis (saling berhadap-hadapan). Tetapi
semuanya disesuaikan keadaan wanitanya. Jika wanita tersebut sering hamil, tiap
tahun atau dua tahun sekali, sulit baginya melakukan qadha, maka bagi dia
fidyah saja. Adapun, jika hamilnya jarang, ada waktu jeda dia tidak hamil maka
wajib baginya qadha di masa jeda itu, bukan fidyah. Inilah pendapat yang
nampaknya adil, seimbang, sesuai ruh syariat Islam. Ini sekaligus jawaban atas
pertanyaan kedua.
Demikian. Wallahu A’lam.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/27/53775/ibu-hamil-dan-menyusui-berhalangan-puasa-fidyah-atau-qadha/#ixzz3F2sLQ5Go
No comments:
Post a Comment