SEMOGA BLOG INI BERMANFAAT BAGI SEMUA PENGUNJUNG

Sunday 5 October 2014

Ibu Hamil dan Menyusui Berhalangan Puasa, Fidyah atau Qadha?

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala aalihi wa Shahbihi wa man waalah, Ba’d.
Kepada Sdri Arsi Purnama Sari, semoga Allah merahmati Anda.
Ibu hamil dan menyusui adalah dua macam ‘udzur dibolehkannya meninggalkan puasa. Namun, dia diwajibkan menggantinya. Ini adalah kesepakatan (ittifaq) para fuqaha (ahli fiqih) sejak dahulu hingga hari ini. Jika dia memiliki daya tahan tubuh yang kuat, dan tidak khawatir terhadap kesehatan dirinya dan janinnya, maka dia boleh memilih, puasa atau tidak. Keduanya dibenarkan, namun puasa lebih afdhal, karena tubuhnya kuat tadi.
Hanya saja, para fuqaha berselisih (ikhtilaf), dengan apa dia harus mengganti puasa. Qadhakah (berpuasa pada hari di luar Ramadhan)? Atau fidyah? Perlu diketahui, Qadha merupakan mengganti puasa di hari selain Ramadhan karena dia masih mampu untuk berpuasa di hari lain tersebut. Seperti musafir, orang sakit yang masih punya harapan sembuh, hamil dan menyusui, pekerja keras, orang yang perang, dipaksa/diancam untuk tidak puasa.
Sedangkan Fidyah adalah mengganti puasa bagi orang yang sudah tidak mampu lagi berpuasa dengan memberikan makanan pokok yang mengenyangkan kepada orang miskin, sebanyak jumlah hari yang dia tinggalkan. Seperti sakit menahun yang tipis kemungkinan sembuh, orang yang sangat tua, orang yang selalu bergelut dengan pekerja keras tiap hari. Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, ibu hamil dan menyusui termasuk golongan ini.
Untuk Qadha dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. al-Baqarah [2]: 184)
Untuk Fidyah dalilnya adalah kalimat selanjutnya, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. al-Baqarah (2): 184)
Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini sangat wajar. Sebab memang ayat tersebut tidak merinci siapa sajakah yang termasuk orang-orang yang berat menjalankannya. Dalam hadits pun tidak ada perinciannya. Adapun tentang Qadha secara khusus, ayat di atas menyebut musafir dan orang yang sakit. Sedangkan ayat tentang Fidyah, tidak dirinci hanya disebut orang yang berat menjalankannya.
Nah, khusus ibu hamil dan menyusui, jika kita melihat keseluruhan pandangan ulama yang ada, bisa kita ringkas seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir,[1] bahwa ada empat pandangan/pendapat ulama. Berikut rinciannya, silahkan perhatikan baik-baik:

Pertama, kelompok ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah sekaligus. Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam asy-Syafi’i. Dilakukan jika Si Ibu mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya.
Kedua, kelompok ulama yang mewajjibkan fidyah saja, tanpa qadha. Inilah pandangan beberapa sahabat Nabi, seperti Abdullah bin ‘Abbas, dan Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Dari kalangan tabi’in (murid-murid para sahabat) adalah Said bin Jubeir,[2] Mujahid, dan lainnya. Kalangan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in) seperti al-Qasim bin Muhammad dan Ibrahim an-Nakha’i.
Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih, Ibnu ‘Abbas pernah berkata kepada hamba sahayanya yang sedang hamil, “Kau sama dengan orang yang sulit berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tidak usah qadha.”
Nafi’ bercerita bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil yang khawatir keselamatan anaknya kalau ia berpuasa. Dia menjawab, “Hendaknya dia berbuka. Sebagai gantinya, hendaklah dia memberi makanan kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum.” (Riwayat Malik )
Ketiga, kelompok ulama yang mewajibkan qadha saja, tanpa fidyah. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Seperti madzhab Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan Si Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus.
Keempat, kelompok ulama yang mengatakan tidak qadha, tidak pula fidyah.
Demikianlah berbagai perbedaan tersebut. Nah, pendapat manakah yang sebaiknya kita ikuti? Seorang ahli fiqih abad ini, Al-‘Allamah Syaikh Yusuf al-Qaradhawy hafizhahullah,[3] dalam kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan keluar dan kompromi yang bagus. Beliau berkata:
“Banyak ibu-ibu hamil bertepatan bulan Ramadhan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka, jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah. Di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi.
Namun bagi ibu-ibu yang masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di sebagian besar negara Islam, tertutama di kota-kota, kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).”
Jadi, beragam pendapat ini tidak diposisikan saling vis a vis (saling berhadap-hadapan). Tetapi semuanya disesuaikan keadaan wanitanya. Jika wanita tersebut sering hamil, tiap tahun atau dua tahun sekali, sulit baginya melakukan qadha, maka bagi dia fidyah saja. Adapun, jika hamilnya jarang, ada waktu jeda dia tidak hamil maka wajib baginya qadha di masa jeda itu, bukan fidyah. Inilah pendapat yang nampaknya adil, seimbang, sesuai ruh syariat Islam. Ini sekaligus jawaban atas pertanyaan kedua.
Demikian. Wallahu A’lam.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/27/53775/ibu-hamil-dan-menyusui-berhalangan-puasa-fidyah-atau-qadha/#ixzz3F2sLQ5Go

No comments:

Post a Comment

KLIK